jam digital

Selasa, 21 Januari 2014

IATCA DAN LEGENDA MALIN KUNDANG....

Oleh. Muhafsy

Sekali waktu jika rekan-rekan datang ke kota padang, jangan lupa main-mainlah ke sebuah pantai yang begitu eksotik dan selalu ramai, pantai air manis namanya. Birunya samudera Hindia, terpaan semilir angin pantai sudah terasa ketika kita mulai menuruni bukitnya yang hijau tertata asri lagi alami. Sebelum kita menginjakkan kaki di pantainya yang bersih, kita dapat merasakan lembutnya tiupan angin dibawah rimbunnya pohon-pohon cemara yang sesekali berjatuhan ke tanah, sama seperti kata bang Darwis tere liye “ daun yang jatuh tak pernah membenci angin”. Hmmm….

Pada sisi selatan kita akan menemukan sebuah muaro, sungai kecil yang airnya mengalir langsung menuju samudera. Dan hanya beberapa  puluh meter di sebelah kiri sungai inilah kita akan mendapati hamparan batu karang yang luas dan datar, disinilah kita akan melihat seonggok batu sebesar ukuran manusia, yang tengah bersujud…ya inilah yang disebut “Batu malin kundang”…!

Legenda malin kundang sangat terkenal dimasyarakat sumatera barat, orang minang menyebutnya dengan malin kundang anak cilako atau malin kundang anak durhako, kedua istilah tersebut sebenarnya tidak enak didengar di telinga, tapi begitulah nasib si malin kundang. Singkat ceritanya adalah malin kundang dilahirkan dari rahim seorang ibu yang miskin dan tak punya harta, ibunya sangat berharap saat mengandung anaknya, agar kelak setelah lahir sang anak menjadi anak yang berbakti dan sayang kepada ibunya.

Setelah menunggu selama lebih dari Sembilan bulan akhirnya sang anakpun lahir dan tumbuh dewasa serta mandiri. Namun sayang, setelah dewasa malin kundang bukannya berbakti dan sayang kepada ibunya, denga pogahnya malah ia nafikan keberadaan ibunya tersebut. Hati ibu mana yang takkan hancur, hati ibu mana yang takkan kecewa, sehingga terluncurlah kata-kata dari sang ibu agar sang anak dikutuk menjadi batu.
Itu adalah legenda malin kundang, karena ia hanya sebuah legenda jadi keabsahan cerita tersebut, tak bisa kita terima seratus persen, artinya bisa benar bisa tidak, namanya juga cerita atau legenda. Namun hari ini kita melihat dengan kepala kita sendiri, sebuah kenyataan didepan mata kita, seorang ibu yang bernama IATCA harus mengandung selama lebih dari Sembilan tahun, catat bukan Sembilan bulan, untuk melahirkan seorang anak, dimana ia berharap kelak sang anak berbakti dan sayang terhadap ibunya.
Sang anak yang tadinya sangat diharapkan kelahirannya, ternyata setelah lahir hanya mementingkan dirinya sendiri, tak mau peduli dengan keadaan sang ibu, tak sayang ia pada sang ibu yang telah susah payah melahirkannya, sama seperti si malin kundang ia nafikan keberadaan sang ibu.

Kenapa sih harus begini, tidak bisakah ia menjadi anak yang penyayang dan berbakti pada sang ibu, tak bisakah ia menjadi anak yang penurut dan tahu balas budi. Minimal jika itu tidak bisa dilakukan, jadikanlah ia sebagai patner dalam melangkah, hingga yang satu dapat menopang yang lain, sehingga yang satu dapat berpegangan dengan yang lain, dengan begitukan lebih indah, lebih nyaman dan lebih menentramkan.
Kenapa harus berjarak, kenapa setiap sesuatu yang diusulkan IATCA selalu ditolak, kenapa setiap suara arus bawah (atc) dianggap tak layak, untuk didengar. Mengapa… kenapa…ada apa…itu pertanyaan yang tak pernah kami dapatkan jawabannya.
Ini seperti pepatah arab “ Nahnu fi wadhini wahuwa fi wadhi akhor”kami di lembah ini dan mereka di lembah yang lain, nggak pernah ketemu, nggak pernah nyambung, orang betawi bilang, Jaka Sembung naik ojek, nggak nyambung nggak konek….

Atau mau disumpahin jadi batu kayak si malin kundang….!


Terimakasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar