Oleh.
Muhafsy
Sekali waktu
jika rekan-rekan datang ke kota padang, jangan lupa main-mainlah ke sebuah pantai
yang begitu eksotik dan selalu ramai, pantai air manis namanya. Birunya
samudera Hindia, terpaan semilir angin pantai sudah terasa ketika kita mulai
menuruni bukitnya yang hijau tertata asri lagi alami. Sebelum kita menginjakkan
kaki di pantainya yang bersih, kita dapat merasakan lembutnya tiupan angin
dibawah rimbunnya pohon-pohon cemara yang sesekali berjatuhan ke tanah, sama
seperti kata bang Darwis tere liye “ daun yang jatuh tak pernah membenci
angin”. Hmmm….
Pada sisi
selatan kita akan menemukan sebuah muaro, sungai kecil yang airnya mengalir
langsung menuju samudera. Dan hanya beberapa
puluh meter di sebelah kiri sungai inilah kita akan mendapati hamparan
batu karang yang luas dan datar, disinilah kita akan melihat seonggok batu
sebesar ukuran manusia, yang tengah bersujud…ya inilah yang disebut “Batu malin
kundang”…!
Legenda
malin kundang sangat terkenal dimasyarakat sumatera barat, orang minang
menyebutnya dengan malin kundang anak cilako atau malin kundang anak durhako,
kedua istilah tersebut sebenarnya tidak enak didengar di telinga, tapi
begitulah nasib si malin kundang. Singkat ceritanya adalah malin kundang dilahirkan
dari rahim seorang ibu yang miskin dan tak punya harta, ibunya sangat berharap
saat mengandung anaknya, agar kelak setelah lahir sang anak menjadi anak yang
berbakti dan sayang kepada ibunya.
Setelah
menunggu selama lebih dari Sembilan bulan akhirnya sang anakpun lahir dan
tumbuh dewasa serta mandiri. Namun sayang, setelah dewasa malin kundang
bukannya berbakti dan sayang kepada ibunya, denga pogahnya malah ia nafikan
keberadaan ibunya tersebut. Hati ibu mana yang takkan hancur, hati ibu mana
yang takkan kecewa, sehingga terluncurlah kata-kata dari sang ibu agar sang
anak dikutuk menjadi batu.
Itu adalah
legenda malin kundang, karena ia hanya sebuah legenda jadi keabsahan cerita
tersebut, tak bisa kita terima seratus persen, artinya bisa benar bisa tidak,
namanya juga cerita atau legenda. Namun hari ini kita melihat dengan kepala
kita sendiri, sebuah kenyataan didepan mata kita, seorang ibu yang bernama
IATCA harus mengandung selama lebih dari Sembilan tahun, catat bukan Sembilan
bulan, untuk melahirkan seorang anak, dimana ia berharap kelak sang anak
berbakti dan sayang terhadap ibunya.
Sang anak
yang tadinya sangat diharapkan kelahirannya, ternyata setelah lahir hanya
mementingkan dirinya sendiri, tak mau peduli dengan keadaan sang ibu, tak sayang
ia pada sang ibu yang telah susah payah melahirkannya, sama seperti si malin
kundang ia nafikan keberadaan sang ibu.
Kenapa sih
harus begini, tidak bisakah ia menjadi anak yang penyayang dan berbakti pada
sang ibu, tak bisakah ia menjadi anak yang penurut dan tahu balas budi. Minimal
jika itu tidak bisa dilakukan, jadikanlah ia sebagai patner dalam melangkah,
hingga yang satu dapat menopang yang lain, sehingga yang satu dapat berpegangan
dengan yang lain, dengan begitukan lebih indah, lebih nyaman dan lebih
menentramkan.
Kenapa harus
berjarak, kenapa setiap sesuatu yang diusulkan IATCA selalu ditolak, kenapa
setiap suara arus bawah (atc) dianggap tak layak, untuk didengar. Mengapa…
kenapa…ada apa…itu pertanyaan yang tak pernah kami dapatkan jawabannya.
Ini seperti
pepatah arab “ Nahnu fi wadhini wahuwa fi wadhi akhor”kami di lembah ini dan
mereka di lembah yang lain, nggak pernah ketemu, nggak pernah nyambung, orang
betawi bilang, Jaka Sembung naik ojek, nggak nyambung nggak konek….
Atau mau
disumpahin jadi batu kayak si malin kundang….!
Terimakasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar